4 Juli 2010

Sanggar Kegiatan Belajar sebagai Lembaga Percontohan

Sebelum era otonomi bergulir Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) merupakan unit pelaksana teknis Direktorat Tenaga Teknis Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Depdiknas, berkedudukan sebagai lembaga percontohan di kabupaten/kota. Implikasi dari kebijakan tersebut, maka pada era 1990 SKB diwajibkan untuk menyelenggarakan berbagai satuan pendidikan nonformal,
seperti Kelompok Belajar Paket A, Paket B dan Paket C, kursus dan pendidikan anak usia dini. Pada saat itu terjadi pergeseran dari SKB sebagai penyelenggara diklat bagi tenaga teknis (pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal) menjadi penyelenggara satuan pendidikan nonformal. Walaupun SKB sebagai penyelenggara diklat bagi tenaga teknis tetap dilakukan, namun SKB diwajibkan untuk menyelenggarakan satuan pendidikan pendidikan nonformal.
Oleh karena itu, pada era 1990-an akhir kita banyak melihat bahwa rekrutmen Pamong Belajar di SKB (juga di BPKB) tidak hanya dari sarjana Pendidikan Luar Sekolah, namun dari berbagai latar belakang bidang studi untuk diangkat sebagai Pamong Belajar yang juga dapat mengampu menjadi Tutor mata pelajaran pada Kejar Paket yang diselenggarakan SKB. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan program kursus/life skills pada saat itu direkrut pula sarjana pertanian dan sarjana komputer sebagai Pamong Belajar. Kebijakan rekrutmen CPNS untuk formasi Pamong Belajar saat itu dimaksudkan untuk menunjang keberadaan SKB sebagai lembaga percontohan.
Setelah era otonomi, pada sebagian kabupaten/kota tugas pokok dan fungsi SKB masih dicantumkan sebagai lembaga percontohan. Pertanyaannya: untuk dicontoh oleh siapa? Dan apakah layak untuk dicontoh? Pertanyaan pertama mendapatkan kritikan dari berbagai pihak, bahwa satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh SKB akan sangat sulit dicontoh oleh masyarakat karena SKB memiliki segala sumber daya baik manusia dana, maupun sarana/prasarana, sesuatu yang tidak mungkin dimiliki oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Jadi jika PKBM akan mencontoh seperti yang diselenggarakan oleh SKB akan sulit karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki.
Pertanyaan kedua, apakah program yang diselenggarakan SKB layak dicontoh? Jangan-jangan justru SKB yang mencontoh program pihak lain? Pertanyaan ini akan mudah dijawab jika dikaitkan dengan penyelenggaraan program kursus atau life skills karena lebih banyak lembaga kursus yang berkualitas dan layak dicontoh dibandingkan yang diselenggarakan oleh SKB. Bahkan pada beberapa SKB, ketika saat ini akan mengajukan program life skills (Kursus Wirausaha Desa, Kursus Wirausaha Kota maupun Kursus Para Profesi) mereka cenderung berperan sebagai pengusul, namun dalam penyelenggaraan bermitra dengan lembaga kursus yang memang berkualitas.
Saya melihat di era otonomi ini, jika SKB masih mengedepankan sebagai lembaga percontohan saya yakin semakin lama keberadaan SKB di kabupaten/kota akan hilang karena memang logikanya tidak nyambung lagi sebagai lembaga percontohan. Untuk itu perlu upaya mereposisi SKB di tengah arus otonomi daerah saat ini. SKB sebagai lembaga percontohan akan menjadi parameter yang mudah untuk menghapus keberadaa SKB di sebuah kabupaten/kota, ketika SKB tidak mampu menunjukkan bukti-bukti bahwa ia mampu dicontoh oleh masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan nonformal.
Untuk itulah ketika beberapa tahun yang lalu saya dimintai pertimbangan beberapa SKB di DIY dalam rangka penyusunan SOTK yang baru, saya mengusulkan skema bahwa SKB itu adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan layanan pendidikan nonformal bagi masyarakat. Saya menganalogikan, pada jalur pendidikan formal ada SD Negeri, SMP Negeri, SMA/SMK Negeri sementara itu ada SD swasta, SMP swasta, dan SMA/SMK swasta, sedangkan pada jalur pendidikan nonformal SKB itu diibaratkan sebagai PKBM negeri. Saya meyakini jika dengan skema ini akan sulit bagi eksekutif dan DPRD untuk menghapus keberadaan SKB, karena kita bisa menunjukkan alasan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan layanan pendidikan nonformal sebagaimana jalur pendidikan formal.
Maka pada posisi ini status SKB akan disamakan dengan status SD, SMP, SMA/SMK Negeri di suatu kabupaten/kota. Dari sisi penyerapan alokasi anggaran dengan skema ini juga akan lebih memudahkan bagi SKB untuk bergerak, karena di dalamnya akan mengakomodasi layanan pendidikan kesetaraan (Paket A, Paket B dan Paket C), pendidikan keaksaraan fungsional, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan keterampilan/kursus.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka tidak tertutup kemungkinan di sebuah kabupaten/kota dapat didirikan lebih dari satu SKB. Di era otonomi ini beberapa kabupaten/kota telah mendirikan beberapa SKB, yang saya pikir berangkat dari pemikiran di atas serta dalam rangka memperluas cakupan layanan pendidikan nonformal bukan sebagai lembaga percontohan. Beberapa kabupaten/kota tersebut antara lain: Boyolali, Semarang (Kab), Sragen dan Balikpapan.

Tidak ada komentar:

Free Music Online Free Music Online